Sumber www.radioidola.com
Bagaimana Moderasi di Indonesia?
Selama beberapa dekade, indonesia telah mempertahankan reputasinya sebagai negara yang tidak “agamis namun tidak pula sekuler” (dalam term Gusdur Indonesia disebut negara bukan-bukan) sebuah teka-teki dan kompromi filosfis yang mencerminkan sebuah ketegangan ideologis yang telah berlangsung lama antara kekuatan konservatif dan liberal fenomena ini sering diistilahkan dalam dunia kesarjanaan semisal Martin van Bruinessan menyebutnya sebagai Concervative turn maka untuk menetralisir keduanya perlu di jembatani apa yang disebut dengan konsep moderasi beragama.
Indonesia yang syarat akan keberagaman (Multikulturalisme) bahasa, agama, suku dan budaya rentan akan radikalisme, radikalisme bukanlah sebuah fenomena yang baru di Indonesia, akan tetapi benih-benih ekstrimisme tumbuh subur di negeri ini meminjam istilah Zachary Abuza, Angel Rabasa dan sidney jones, bahkan menyebut Indonesia sebagai basis strategic terorism. Untuk mencounter ekstrimisme itu sendiri moderasi beragama mesti hadir sebagai instrumen penting dalam menjaga stabilitas dan mewujudkan Islam yang rileks (Rahmatan lila’lamin) atau meminjam istilah Azyumardi Azra telah dan masih sebagaian besar dikenal sebagai Islam dengan “Face Smile” wajah tersenyum).
Sumber purbalingga.kemenag.go.id
Mahasiswa dan Toleransi Agama Setengah Hati
Beberapa kesarjanaan tengah mengamati dan tidak kita pungkiri indonesia sedang berada pada fase conservative turn, yakni pergeseran pemaknaan atau arah Islam Indonesia ke arah yang konservatif ini terlihat betapa belum dewasanya dalam bersikap sehingga ketika pemilu 2019 sesama anak negeri kenapa mesti ada istilah kardun dan kampret hanya untuk mempertegas bahwa mereka bukan kelompok yang sama dan diperkuat dengan data temuan Badan Intelijen Negara (BIN) pada tahun 2017 yang menyebutkan ada tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terpapar radikalisme. Selain itu, ada 39% mahasiswa di 15 provinsi menunjukkan ketertarikannya pada paham radikal yang dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan, yakni: rendah, sedang, dan tinggi.
Sumber Kemenag. go.Id
Lebih lanjut, sebagaimana pandangan Mu’nim Sirry dia memberi horizon tersendiri bagi pengkaji isu radikalisme dan ekstrimisme bahwa ternyata kalangan mahasiswa (remaja)ini menerima gagasan toleransi beragama dengan setengah hati. sikap mendua ini jelas terlihat dari “koalisi besar” terhadap toleransi beragama terhadap koeksistensi kerukunan hidup beragama serta penolakan keras mereka terhadap radikalisasi pada saat yang bersamaan, terlebih jika sudah menyangkut isu-isu temporal semisal ucapat selamat natal dan kepemimpinan non-Muslim bahkan ada yang tidak bisa menerima perbedaan simbolik semisal cadar dan celana cingkrang. Apa yang kiranya hilang dalam toleransi setengah hati adalah rasa kepedulian (care) keramahtamahan (hospitality).
Persamaan Persepsi Sebagai Kunci?
Sumber retizen.republika.co.id
Poin penting dalam menciptakan iklim moderasi beragama tanpa merasa siapa yang paling benar, tanpa memaksakan bahwa pendapat saya atau kelompok saya yang benar, tanpa ada yang terintimidasi semua berada dan sejajar secara bersama-sama maka hal yang di tekankan dalam mewujudkan toleransi mensyaratkan interaktif dan dialektif dalam menyangga sikap moderasi. Tentu tidak ada agama yang menyeru pada kekerasan, semua agama sepakat bahwa harkat kemanusiaan dan nilai ketuhanan perlu dijaga secara bersama-sama maka dengan adanya persamaan perspektif tujuan dan misi bersama akan mudah terakomodir dan lebih konsisten apalagi pesamaan perspektif dalam menciptakan harmonisasi nilai cinta dan kasih sayang antar umat beragama sekalipun.
Dr. Deni Suryanto, MP.d